Apakah operator kecil mampu bertahan di tengah ketatnya persaingan dan perang tarif??

Apakah operator kecil mampu bertahan di tengah ketatnya persaingan dan perang tarif??
Sudah hampir dua (2) bulan ini saya selalu kesulitan menelepon, menerima panggilan dan mengirim atau menerima pesan singkat (sms). Sering saat saya menelepon, diseberang sana terdengar : “maaf telepon yang anda hubungi sedang diluar jangkauan, mohon hubungi kembali beberapa saat lagi” atau tanpa ada respon tetapi hanya nada sibuk yang terdengar atau sms yang saya kirim sering kali tidak sampai ke tujuan atau memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa diterima . Selain itu sayapun sering dimarahi oleh teman, istri dan anak-anak karena ketika mereka mencoba menghubungi saya, tidak bisa dihubungi padahal telepon tidak saya matikan.
Sementara itu perang iklan layanan atau tarif seluler yang menggebu-gebu di berbagai media termasuk media luar ruang sudah sangat mengkhawatirkan dan membingungkan konsumen. Semua operator menyatakan bahwa tarifnya paling murah menelepon kemana saja dan kapan saja. Iklan-iklan operator seluler tersebut memang tidak bisa menjelaskan dengan baik dan rinci pada kondisi serta jam berapa tarif itu berlaku. Apa betul iklan-iklan tersebut membohongi dan menjebak konsumen ? Masalah iklan seluler itu membohongi atau menjebak cukup sulit dibuktikan, dan perlu waktu.
Perang tarif diantara 10 operator ini terjadi setelah Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Permen Kominfo) No. 9/PER/M. KOMINFO/4/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Jasa Telekomunikasi Yang Disalurkan Melalui Jaringan Bergerak Seluler yang diterbitkan dan mulai berlaku pada tanggal 7 April 2008. Peraturan ini memang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya desakan publik yang mengatakan tariff seluler di Indonesia termasuk yang termahal di dunia serta sudah sejak tahun 1998 Pemerintah tidak merevisi tarif.
Industri telekomunikasi di Indonesia merupakan satu-satunya industri infrastruktur yang tingkat pertumbuhannya masih diatas 50%. Untuk itu Pemerintah harus menjaga betul dinamika industri telekomunikasi ini. Jangan terlalu diatur secara rinci karena akan menyulitkan kelangsungan hidup industri telekomunikasi. Kasus penurunan tarif yang terlalu tinggi ini sangat berdampak pada kualitas layanan. Tidak percaya ? Mari kita lihat bahasan berikut
Mengapa Saat Tarif Turun Kualitas Juga Turun ?
Industri telekomunikasi di Indonesia belum mature, mengingat teledensitas di Indonesia baru sekitar 40%. Masih sekitar 38.147 desa di Indonesia yang masih blankspot dan membutuhkan modal besar membangun infrastruktur telekomunikasi. Kalau saat ini sudah terganggu dengan penurunan tarif, kemudian muncul pula masalah pembangunan tower BTS dan masalah kepemilikan asing.
Dana pembangunan investasi yang besar tentunya dapat diperoleh dari investor namun pengembaliannya harus diperoleh dari pelanggan yang membayar pulsa telepon yang digunakan. Konsumen akan semakin bergairah dan bertambah apabila tarifnya terjangkau dan pelayanannya prima. Meski tarif murah tetapi kualitas layanan buruk, konsumen pasti akan bereaksi negatif bagi pertumbuhan industri telekomunikasi.
Masalahnya jika tarif diturunkan secara drastis seperti sekarang, maka secara otomatis pendapatan operator seluler juga turun drastis. Dengan turunnya tarif seluler secara drastis membuat trafik meningkat tajam, karena konsumen akan lebih banyak menelepon atau kirim sms, akibatnya jaringan tidak mampu menampung tingginya trafik. Untuk dapat menampung meningkatnya trafik akhir-akhir ini diperlukan penambahan kapasitas secepatnya, namun ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama.
Secara teknis, semua elemen komunikasi yang digunakan operator seluler saat ini , seperti : Mobile Switching Center (MSC), Base Station Subsystem (BSS), Base Transceiver Station (BTS) dan Base Station Controller (BSC) kapasitasnya sudah penuh. Selain itu transmisi penghubung diantara elemen tersebut dan juga kapasitas transmisi interkoneksi antar operator juga penuh.
Kepadatan tersebut diakibatkan karena tarif offnet yang lebih murah dan juga berubahnya pola trafik komunikasi harian dan tujuan (on net/off net), sebagai akibat banyaknya promo-promo yang ditawarkan. Pada akhirnya rendahnya tarif telepon membuat kualitas pelayanan operator juga menurun seperti yang konsumen hadapi saat ini. Semua ini terjadi karena Pemerintah tidak mencermati dan mengantisipasi dampak keputusan yang diambil terhadap kualitas dan kemampuan dari operator yang ada
Apa Yang Harus Dilakukan Pemerintah ?
Kita ketahui bersama bahwa dari 10 operator yang ada hanya ada 3 – 4 operator yang sudah mapan dan berjangkauan nasional, sisanya belum dan sudah “ngos-ngosan“. Kehancuran industri telekomunikasi sudah ada di depan mata sejak munculnya Keputusan KPPU yang tidak masuk akal, di mana Telkomsel diwajibkan untuk menurunkan tarifnya sebesar 15%. Bagaimana mungkin sebuah market leader harus menurunkan tarifnya? Kalau itu terjadi pasti operator lain, khususnya yang kecil harus ikut turun dan dijamin tak lama kemudian akan bangkrut.
Keputusan kontroversial KPPU tersebut juga berdampak pada munculnya gugatan kelompok atau class action di beberapa daerah (Bekasi dan Tangerang) dengan alasan selama ini konsumen sudah dibohongi oleh operator. Gugatan class action dapat menjadi hambatan dan gangguan sangat besar bagi pelaksanaan bisnis telekomunikasi di Indonesia, terutama dari kepastian hukum berusaha. Akibatnya, perencanaan investasi yang sudah diputuskan dengan jangka panjang mulai goyah karena isu ketidakpastian dari sisi jaminan hukum.
Selain Keputusan KPPU yang kontroversial tersebut, baru-baru ini muncul Keputusan Menteri Komunikasi dan Informasi melalui Permen Kominfo No. 2/2008 yang menyatakan bahwa kepemilikan, pengelolaan dan penyewaan tower harus dilakukan oleh investor domestik (100%), sedangkan dalam Peraturan Presiden No. 111/2007 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak diatur. Apakah Permen bisa melangkahi Perpres? Seharusnya tidak! Sekali lagi investor telekomunikasi bingung dan ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor telekomunikasi Indonesia ke depan.
Sebagai regulator, sebaiknya Departemen Komunikasi dan Informasi bersama Badan Regulasi telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengkaji secara rinci sebelum menetapkan besaran tarif atau besaran turunnya tarif. Pemerintah harus mengkaji dampak dari penurunan setiap 1 persen tarif-tarif seluler terhadap kemampuan operator dan konsumen. Dari data tersebut seharusnya bisa diketahui berapa besaran tarif yang cocok untuk setiap komponen berkomunikasi secara wireless atau seluler.
Kesimpulan
Nasi sudah menjadi bubur, namun Pemerintah harus dapat meyakinkan operator, konsumen dan investor bahwa Pemerintah akan segera mengeluarkan peraturan lain yang dapat memberikan kesejukan dan kemajuan sektor telekomunikasi.
Untuk KPPU sebaiknya tidak lagi memutuskan sesuatu yang pada akhirnya akan menyusahkan konsumen karena kualitas terabaikan dan akan meningkatkan pengangguran. Harga boleh murah tetapi kualitas harus prima. Ingat bahwa telekomunikasi masih menjadi salah satu penyedia lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia saat ini, baik yang langsung maupun tidak.
Kepada teman-teman LSM juga harus melihatnya lebih arif dan kembali mendesak Pemerintah agar berbagai aturan yang dikeluarkan harus mengakomodasi kepentingan publik, investor dan Pemerintah, bukan hanya berpihak pada kepentingan kelompok tertentu saja. Salam!
Penulis, Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen.

Author: ceppek

Leave a Reply